The Cruelty He Had to Do

Surya muak menjadi pilihan akhir ketika masalah demi masalah menimpa keluarga-nya. Ia putuskan mengakhiri penderitaan dengan cara yang terlihat kejam dari sudut pandang orang luar.

Rina
13 min readOct 19, 2023
cr. BIGHIT MUSIC

September 2020

Surya tatap tubuh berlapis kain yang perlahan tenggelam oleh tanah basah bercampur bunga dalam diam. Lelaki itu tidak lagi menangis seperti beberapa jam lalu ketika papa-nya dinyatakan meninggal dunia. Sudah lama si anak tengah bersiap diri akan kepergiaan sang kepala keluarga, namun tetap sulit menerima kenyataan bahwa sosok yang Surya jadikan panutan pergi dan tak mungkin kembali.

Lebih sulit lagi ketika Surya harus kembali menjadi pilihan terakhir akan segala hal yang berkaitan dengan keluarga-nya. Contoh paling kecil, Surya beberapa-kali terpaksa mengalah untuk tidak menerima kado ulang tahun, hanya karena keuangan yang menipis setelah membelikan kakak dan adik-nya — ulang tahun saudara Surya lebih dahulu ketimbang diri-nya yang lahir di akhir tahun. Padahal di tahun yang sama, mama-nya kerap membeli tas high-end. Selain itu, kakak-nya selalu dibelikan berbagai macam pakaian mahal, sementara Surya hanya menerima lungsuran saja. Adik-nya yang sering menolak pun masih sering dibelikan. Ironi, sang papa pun memilih menuruti keputusan si kepala rumah tangga dan berakhir mengesampingkan keberadaan Surya di luar kebutuhan wajib-nya. Jangan tanya se-sedih apa Surya setiap berada di posisi tersebut.

Saat masih kecil, Surya akan menangis setiap pergi tidur. Kala beranjak dewasa, Surya lampiaskan dengan pergi bersama ke-empat sahabat-nya hingga pagi. Surya lakukan apapun untuk menghilangkan perih hati karena selalu dikesampingkan. Selalu dianggap angin lalu dalam berbagai hal hingga membuat Surya lupa betapa berharga-nya diri-nya.

Surya yang terus-menerus menerima ketidak-adilan oleh anggota keluarga-nya, kini justru harus menyelamatkan kondisi carut-marut setelah kepergian si kepala keluarga. Ia yang baru saja menyelesaikan studi sarjana, ia yang baru saja mengakhiri hubungan dengan sang mantan kekasih, dan ia yang baru saja bersedih akan kepergian sang papa, tidak beri kesempatan untuk bernapas barang sejenak.

“Kamu ‘kan sudah lulus, Surya. Sudah keterima kerja juga. Kalau Bang Adit ‘kan masih fokus ngembangin bisnis. Untuk sementara, tolong kamu bantu bayar keperluan rumah sama kuliah Meisa y-”

“Ma, kok jadi Kak Surya yang biayain aku?!”

“Mama ‘kan udah lama gak kerja, gak mungkin mama tiba-tiba kerja demi bayar kuliah kamu!”

“Ya kalau gitu Bang Adit suruh ngalah! Bisnis gak ada untung juga, mending cari kerja yang permanen dan stabil!” omel Meisa.

“Ya, gak bisa, Mei. Gue udah buang waktu, tenaga, dan biaya. Dikit lagi aja sukses!”

“Ya udah, Meisa berhenti kuliah aja!”

“Ya, jangan! Udah bener kata mama tadi, biar kakak kamu dulu yang bayarin. Untuk sementara aja. Toh papa mindahin semua aset atas nama Surya, jadi secara legal sudah kewajiban kakak kamu untuk menghidupi keluarga ini,” bujuk mama sembari menyakinkan ketiga anak-nya bahwa meminta Surya menjadi pencari nafkah utama adalah keputusan terbaik.

Tidak hanya Surya menjadi pilihan terakhir untuk diberi kasih sayang, kini diri-nya dijadikan pilihan terakhir untuk menghidupi keluarga yang kehilangan pemimpin-nya. Bukan Surya perhitungan. Tidak juga Surya rela membiarkan adik-nya berhenti kuliah. Namun, kenapa harus diri-nya juga yang dijadikan pilihan terakhir ketika masalah perlahan muncul ke permukaan?

Oktober 2022

Dua tahun berlalu sejak Surya beralih peran menjadi pencari nafkah utama di keluarga. Kata mama-nya hanya sementara. Namun hingga kini, tidak ada tanda-tanda Adit akan membantu beban Surya. Jangankan sebagian, sedikit saja tidak ada. Si sulung sibuk dengan bisnis bengkel motor dan mobil tidak jelasnya itu, sementara Surya harus jumpalitan bekerja demi sesuap nasi untuk setiap mulut anggota keluarga-nya. Meisa jelas tidak bisa Surya paksa bekerja karena gadis itu baru memasuki tahun terakhir sebagai mahasiswa.

Keberadaan mama-nya adalah masalah lain yang Surya harus hadapi semenjak kepergiaan sang papa. Wanita itu tidak berubah walau pasangan hidup-nya tidak lagi di sisi. Terus-menerus membeli barang mewah dengan dalih itulah cara untuk mengatasi rasa sepi dan ketidak-biasaan akan hilangnya sosok suami di hidup-nya. Surya beberapa kali membujuk untuk berobat ke psikiatri, namun hanya penolakan yang ia dapat dan setelah itu mama-nya akan kembali menghabiskan uang yang Surya cari dengan susah payah. Surya harus menerima proyek demi proyek dari segala penjuru negeri, namun uang-uang itu lenyap dalam sekejap mata hanya demi kepuasaan duniawi. Ia yang mencari saja tidak bisa menikmati.

Dan seakan tidak membaca keadaan Surya yang buruk, kakak dan mama-nya justru memberi ide gila demi memenuhi kebutuhan materialistis mereka. Bayangkan, sudah capai berusaha membenahi kondisi keluarga yang semakin hari semakin semrawut, dua orang dewasa itu menyuruh Surya menerima perjodohan dengan anak teman mama-nya yang bernama Melinda. Alasan yang terlontar kala Surya memberi penolakan tidak jauh-jauh dari, “Gue ‘kan udah sama Sinta! Kalau lo single,” atau, “Sama Meisa ya gak mungkin, kak! Jadi pilihan terakhir ya cuma kamu yang nikah sama Melinda. Biar kamu gak ngos-ngosan cari duit.”

Kalau Surya bisa berbicara saat itu juga, ia pasti akan menyuruh kakak dan mama-nya berhenti menghamburkan uang untuk hal yang tidak pasti alih-alih diri-nya harus rela dijual demi memenuhi kesenangan jiwa yang merugikan itu.

Namun, Surya putuskan untuk bertindak.

Di suatu Sabtu, Surya letakkan dua buku tabungan dihadapan Adit dan sang Mama. “Ini untuk abang satu, untuk mama satu. Papa ninggalin ini untuk kalian, Surya cuma nambahin dikit-dikit aja selama dua tahun terakhir sejak Surya kerja. Nominalnya enggak besar, tapi cukup untuk modal usaha abang, cukup juga untuk modal usaha kalau mama mau,” terangnya dengan wajah datar.

Adit buka buka buku miliknya, lantas dibantingnya dengan wajah tak bersahabat. Lelaki itu langsung berdiri dan berkacak pinggang. “Maksud lo apaan, setan?! Gue sama mama nyuruh lo nikah sama si Melinda demi duit yang lebih banyak. Bukan lo kasih duit yang enggak ada artinya ini!” amuknya tanpa malu.

Meisa menyela, “Bang! Jangan kayak bocah kenapa sih?!” Gadis itu kesal mendengar pernyataan si sulung.

“Kamu diam aja, Mei. Biarin abang kamu yang ngomong sama kakak enggak tahu diri kamu ini,” potong mama dengan nada sengak.

Keributan seperti ini bukan sesuatu yang baru bagi Surya. Kalau selama ini Surya lebih banyak mengalah, kali ini tidak akan ia lakukan.

Surya dengan tenang berdiri dan melipat tangan di depan dada. “Siapa abang ngatur-ngatur Surya harus ngapain? Apa yang udah abang kasih ke Surya, sampai Surya harus nurutin mau abang?” tanyanya tanpa rasa takut sedikitpun.

“Lo?!”

“Sejak papa meninggal, Surya yang menghasilkan uang di rumah ini. Abang ngapain? Abang hanya sibuk ngurus balapan, benerin motor, benerin mobil, tanpa menghasilkan apapun. Jangankan ke Surya, ngasih ke Meisa aja deh. Pernah enggak abang lakuin?” balas Surya tetap tenang.

Mama jelas membela Adit. “Surya! Jangan kurang ajar sama abang kamu sendiri!” teriaknya. Telinga Surya sempat berdenging karena teriakan Mama.

Surya lantas mendecih. “Terserah abang sama mama mau ngomong gimana, tetapi keputusan Surya sudah bulat. Surya tidak akan menikah dengan Melanda, Molinda, ya siapa lah itu namanya. Kalau kalian memang ingin duit banyak, abang saja sana yang menikah!” balasnya tegas.

“Ya enggak bisa dong! Gue ‘kan udah sama Sinta, lo yang enggak punya pasangan di sini!” amuk Adit.

“Emang itu urusan Surya?” tanya Surya dengan penuh kesopanan. Kalau orang lain yang ada di posisi Surya, belum tentu bisa bersikap sopan pada manusia-manusia bermasalah seperti Adit dan mama-nya ini.

“Lo jangan egois, Surya!” bentak Adit.

“Abang yang jangan egois. Abang ingin semuanya tersedia, ada untuk abang, tapi enggak mau berkorban. Abang justru minta duit sama Surya terus. Padahal di mana-mana, sulung itu yang ngasih duit,” sahut Surya.

“Lo perhitungan-”

“Jelas Surya perhitungan. Surya yang banting tulang, ambil berbagai proyek di kantor, pergi ke pelosok negeri, cuma demi duit yang dalam sekejap habis abang dan mama pakai untuk hal-hal yang tidak membawa keuntungan sepeserpun. Dalam investasi, Surya rugi buntung,” potong Surya.

Adit dan Mama harus disadarkan sebelum pikirannya makin menjadi. Surya tidak mau lagi hidupnya diatur demi kesenangan orang lain. Apa hak mereka bahagia di atas penderitaan Surya? Tidak ada.

“Pokoknya manfaatkan uang yang papa dan Surya kasih ini sebaik mungkin. Untuk Meisa, Surya akan tetap bayar kos dan segala kebutuhan dia sampai Meisa lulus dan dapat kerja. Jadi abang sama mama enggak perlu pusing mikirin Meisa. Jangan boros! Surya enggak bakal ngasih uang lagi ke kalian,” ucap Surya mengeluarkan ultimatum.

“Segini balasan kamu, setelah mama susah payah melahirkan, membesarkan, dan membiayai kamu sekolah sampai jadi orang?! Dasar anak durhaka!” hardik Mama.

Kalau bisa, Surya ingin sekali marah sembari berteriak. Dua anggota keluarga-nya ini sungguh tidak tahu diuntung!

Dengan sisa kesabaran yang ada, Surya menyahuti hardikan tersebut. “Kalau Surya durhaka, bagaimana dengan abang yang tidak pernah memberi mama sepeserpun uang sejak papa meninggal? Siapa lebih durhaka?”

“Lo jangan ngomong kayak gitu ke Mama!” bentak Adit.

“Bang, Ma, kalau Surya durhaka, udah dari dua tahun lalu Surya usir kalian dari rumah ini. Kalian pikir kenapa papa mengalihkan nama rumah ini jadi milik Surya? Karena papa tahu kalian tidak akan bisa mempertanggung-jawabkan semua ini. Uang yang Surya sisihkan untuk kalian setiap bulan selalu habis dalam hitung hari. Kalau Surya enggak kasih duit, bisa-bisa kalian jual rumah peninggalan kakek sama nenek ini. Kalian mau tinggal di mana? Di kolong jembatan?” tanya Surya diakhir.

“Lo sadar enggak, omongan lo tuh kejam banget? Mama masih belum bisa menerima kenyataan kalau papa udah gak ada. Susah untuk beradaptasi. Mama beli tas atau baju branded, itu demi ketenangan jiwanya!” ucap Adit berlagak sebagai anak paling berbakti.

Habis sudah kesabaran Surya.

“Kalau mau jiwa yang tenang, ya ke dokter! Ke psikiatri! Jalani pengobatan! Bukan menghabiskan uang yang dihasilkan orang lain! Atau, gimana kalau baang aja yang ngasih uang ke mama? Giliran, jangan Surya terus!”

Surya tidak mau lagi mendengar alasan demi alasan yang keluar dari mulut Adit maupun sang mama. Surya ambil koper besar di kamarnya, lalu bergegas keluar rumah.

Adit mengejar lebih dahulu. “Lo mau kemana?! Kita belum selesai bicara!” bentaknya.

“Surya sudah cukup sabar menghadapi kalian selama dua tahun. Untuk saat ini, Surya enggak akan tinggal di sini. Surya bakal nge-kos dekat kantor. Surya capek harus PP berjam-jam naik KRL, terus harus berdebat sama kalian ketika sampai rumah. Kalau Surya enggak di sini, Abang sama Mama bisa lebih tenang. Enggak perlu marah sama Surya karena enggak ngasih duit atau ngebantah perintah kalian,” balas Surya putus asa.

“Kalau lo pergi, jangan bawa dokumen apapun!” ancam Adit.

“Kenapa enggak boleh? Mau abang jual? Are you really that desperate for money?

“Lo!”

“Bang, semua dokumen itu atas nama Surya. Terserah Surya, mau Surya bawa atau mau Surya musnahkan. Itu urusan Surya. Kalian cukup hidup dengan apa yang Surya berikan. Hidup yang benar,” ujar Surya.

Mama lantas memeluk lengan Surya. Wanita itu memohon, “Surya, tolong jangan seperti ini. Mama sama abang minta maaf kalau udah nyakitin kamu. Tapi mama mohon, jangan pergi kayak gini. Mama enggak bisa hidup tanpa kamu.”

Trik psikologi seperti ini tidak lagi mempan membuat Surya tinggal. Ia sudah muak menghadapi drama yang sang mama dan kakak-nya ciptakan. Surya teguh pendirian untuk tinggal terpisah dengan keluarganya.

“Surya bakal tetap pulang sebulan sekali buat ngecek rumah. Buat mastiin juga Abang sama Mama benar atau enggak ngelola uang yang Surya kasih tadi,” balas Surya.

“Surya!” teriak Mama histeris.

Surya menulikan pendengaran. Ia teriak memanggil Meisa. “Mei, cepetan ambil barangnya! Kakak anter kamu ke Pasar Senen, biar enggak ketinggalan kereta balik ke Surabaya!”

Taksi datang bertepatan dengan Meisa yang sudah berdiri di samping Surya. Mereka langsung naikkan barang tanpa menoleh ke belakang. Mereka hanya melambai cepat pada Mama yang menangis di pelukan Adit. Adit menatapnya tajam, namun Surya tidak peduli.

“Kakak enggak apa-apa ninggalin rumah?” tanya Meisa setelah taksi meninggalkan rumah mereka.

Surya menggeleng pelan. “Enggak apa-apa, Mei. Biar Abang sama mama belajar, kalau dunia ini nyatanya memang kejam. Enggak ada yang instan,” jawabnya.

Surya putuskan pergi, demi kebaikan mereka bersama.

Mei 2023

Surya kira keputusan meninggalkan rumah tanpa memberi uang sepeserpun kepada keluarga-nya — kecuali Meisa — adalah yang terbaik. Setiap ia pulang, kakak dan mama-nya terlihat baik-baik saja. Terutama mama-nya yang tidak lagi terlihat membeli barang mewah. Surya pikir keuangan keluarga-nya sudah membaik sejak diri-nya memutuskan tinggal dekat kantor.

Sebuah panggilan telepon di siang bolong mematahkan perkiraan Surya.

“Selamat Siang. Apa benar ini dengan Bapak Surya Mandala?”

Surya mengernyit kala si penelepon mengetahu nama lengkap-nya. “Iya, betul. Dengan saya sendiri. Ini dari mana ya, mbak?” tanyanya skeptis. Sekian kali bertukar panggilan melalui telepon dengan orang asing, baru kali ini Surya merasa ada yang tidak beres. Bahkan ia tidak se-curiga ini saat bertukar komunikasi dengan telemarketer dari bank.

Percakapan berlanjut. Semakin panjang, semakin pias wajah Surya dibuat.

Panggilan berakhir, Surya bergegas bangkit dan merapikan meja. Tak lupa ia mintai tolong anggota tim-nya untuk membereskan pekerjaan yang harus selesai hari ini dan memberi notice pada tim HR. Surya harus segera pulang dan menuntut penjelasan dari kakak dan mama-nya. Hanya mereka yang mungkin melakukan hal keji ini pada-nya.

“Apa maksudnya ada tagihan pinjol atas namaku?!” bentak Surya pertama-kali setibanya di rumah.

Bukannya merasa bersalah, Adit justru mendecih. “Baru juga telat bayar sehari, udah ditagih aja,” celetuknya.

“Maksud abang apa?! Abang pakai nama Surya buat bikin pinjaman online?! Yang benar aja?!” marah Surya. Kali ini tidak ada Meisa yang bisa menghentikan Surya untuk tidak marah.

Sahutan mama juga tidak mendukung, cenderung menyalahkan Surya. “Kan kamu yang kapan hari bilang kalau kamu gak bakal ngasih uang lagi, jadi abang sama mama gak punya pilihan selain pinjam uang,” sahutnya.

“Ya buat apa pinjam uang?! Segala kebutuhan Meisa aja Surya yang bayar. Bahkan Meisa sekarang udah dapat kerja di Surabaya dan gak ada minta lagi. Apalagi minta ke kalian! Jadi buat apa uang-nya?!”

Adit berdiri dan menuding bahu Surya beberapa kali menggunakan jari telunjuk. “Menurut lo buat apa? Ya buat nge-gedein bengkel! Buat beliin mama barang-barang yang biasa mama beli pas papa masih ada! Lagipula, cuma bulan ini aja gue belum bayar. Uang baru bisa ditarik dari bank besok. Selama beberapa bulan gue selalu bayar, jadi lo gak perlu khawatir,” ujar-nya tanpa malu.

“Ini bukan masalah lo bisa bayar atau sekarang lo belum bisa bayar karena uang lo baru bisa ditarik besok, bang! Lo pakai data gue tanpa izin!” amuk Surya. Bisa ia rasakan darah naik ke otak dalam sekejap. Pening menyerang, namun Surya harus selesaikan perdebatan sore ini.

“Lo egois banget, Ya! Udah gak ngasih uang, sekarang lo marah karena gue pakai data lo buat minjem uang?! Lo ‘kan kepala keluarga di rumah ini. Harusnya lo yang tanggung jawab akan semua keadaan di rumah ini, termasuk masalah keuangan. Lo harusnya bersyukur, papa milih lo sebagai pewaris utama. Jadi jalani tanggung jawab lo!” hardik Adit, terlihat benar-benar tak peduli akan beban yang harus Surya jalani semisal cicilan pinjaman online gagal dilunasi dan diri-nya yang lagi-lagi harus mengalah menyicil hingga lunas.

Keluarga-nya benar-benar tidak tahu diuntung!

Surya di tahun lalu mungkin hanya bisa pasrah, namun tahun ini tidak akan ia biarkan kakak dan mama-nya menang.

“Oke, kalau itu jawaban yang abang dan mama bisa berikan. Surya bakal tuntut kalian karena penyalahan penggunaan data orang lain!”

Surya dengungkan genderang perang pada kakak dan mama-nya.

“Lo! Jahat banget nuntut gue dan mama setelah ngelepas tanggung jawab lo!” amuk Adit.

“Dasar anak durhaka!” teriak mama yang menangis histeris nan dramatis.

“Tanggung jawab apa sih?! Papa cuma balikin nama aset ke Surya. Surya gak punya tanggung jawab untuk menanggung lelaki dewasa seperti abang. Surya juga gak punya tanggung jawab membiayai mama yang tidak sadar diri dan terus membeli barang mewah dengan kedok beradaptasi dengan keadaan. Beradaptasi seperti apa yang menghabiskan waktu hampir tiga tahun?!” Surya mengamuk sembari menuding kakak dan mama-nya.

“Keputusan Surya bulat! Kita ketemu di pengadilan!” ucap Surya.

Surya langsung saja berbalik keluar, meninggalkan rumah tanpa menghiraukan jeritan mama ataupun amukan sang kakak. Surya sudah muak! Tidak akan ia biarkan diri-nya menjadi pilihan terakhir untuk mengatasi permasalahan yang kakak dan mama-nya perbuat.

Now

Surya duduk berseberangan dengan kakak dan mama-nya. Hari ini adalah sidang penentuan mengenai gugatan yang Surya layangkan pada anggota keluarga sedarah-nya. Meisa tidak Surya libatkan dalam permasalahan ini. Bahkan lelaki itu sampai melarang Meisa untuk mengambil cuti. Sudah cukup ia yang pusing, jangan pula adik-nya.

Surya menoleh ke kiri, menemukan Viola (pemilik kos tempat-nya tinggal) dan Barra (teman satu kos) duduk sembari menatap teduh. Tatap yang menyakinkan Surya kalau pilihan menuntut keluarga-nya bukanlah kesalahan dan ia bisa memenangkan tuntutan.

Pandang Surya beralih ke seberang. Di kursi sisi kakak dan mama-nya diduduki oleh para tetangga yang nampak pasti tidak mendukung-nya. Bahkan Surya bisa dengar bisikan-bisikan yang menjelekkan diri-nya.

“Surya itu ya! Jahat banget keluarga sendiri dituntut.”

“Harusnya kalau keluarga kesusahan tuh dibantu! Malah dituntut!”

“Serakah ya! Padahal rumah dan segala aset udah atas nama dia, masih juga jahatin keluarga-nya!”

Bisikan sok tahu itu perlahan mengikis keteguhan Surya. Perlahan rasa bersalah menyusup. Kalau harus jujur, Surya tidak ingin melakukan ini. Tapi ia harus! Surya sudah lelah menjadi pilihan terakhir dalam segala hal. Kali ini, bukan keluarga-nya yang harus Surya selamatkan, melainkan diri-nya sendiri.

Remasan pelan pada tangan mengalihkan Surya dari lamunan. Ia menoleh, menemukan senyum cantik dari perempuan yang menjadi kuasa hukum-nya. Rosa (adik dari Viola dan juga pemilik kosan) membuka suara, “Tenang, Ya. Aku bakal pastiin kamu menang. Kamu tahu ‘kan aku sehandal apa?”

Surya balas genggaman itu sembari menghembus napas panjang. Ia tahu sepak terjang Rosa. Walau hanya mendengar dari cerita, kepiawaian Rosa sebagai pengacara tidak perlu diragukan.

“Yang Mulia, klien kami memang berstatus keluarga dengan terdakwa. Namun, penggunaan data pribadi tanpa seizin pemilik-nya adalah bentuk pelanggaran hukum. Penggunaan data pribadi untuk melakukan pinjaman uang secara online tanpa persetujuan pemilik data juga termasuk dalam pelanggaran hukum, sesuai dengan aturan yang tertera dalam UU PDP.”

“Maka dari itu, kami selaku kuasa hukum mengajukan tuntutan pidana berdasarkan Pasal 65 ayat (3) jo Pasal 67 ayat (3) UU PDP atas penggunaan data pribadi tanpa seizin pemilik-nya dengan ancaman 5 tahun penjara atau denda paling banyak 5 miliar rupiah, Yang Mulia.”

“Selain itu, kami juga mengajukan tuntutan pidana berdasarkan Pasal 66 jo Pasal 68 UU PDP atas pemalsuan identitas menggunakan data pribadi klien kami, dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun atau pidana denda paling banyak 6 miliar rupiah, Yang Mulia.”

“Berikut adalah bukti-bukti yang kami kumpulkan melalui perusahaan pinjaman online yang meminjamkan dana kepada terdakwa.”

Rosa menutup tuntutan dengan menyerahkan satu map kepada hakim melalui penyidik. Bukti yang kuasa hukum Surya berikan sudah lebih dari cukup untuk memenangkan tuntutan. Walau Surya tidak mengeluarkan sepeserpun uang untuk membayar cicilan pinjaman online Adit yang sempat tertunda, sudah cukup diri-nya dibuat menderita.

Tuntutan pun dimenangkan oleh Surya. Adit divonis bersalah dan diharuskan menerima hukum tahanan penjara selama 4 tahun. Adit bisa mendapat keringanan masa tahanan apabila membayar kerugian sebesar 1 miliar rupiah, yang Surya terima tanpa argumen lanjutan.

Surya dapati dirinya melebur dalam pelukan Rosa. Bisa Surya dengar sekilas ucapan selamat dan syukur dari sang kuasa hukum, namun perhatian si lelaki tertuju pada sang kakak yang mulai dikawal oleh petugas polisi yang bertanggung jawab membawa tahanan ke lapas.

Tatap Surya dan Adit bertemu. Kakak-nya berucap tanpa suara, “Awas lo! Gue bakal balas perbuatan lo!”

Surya memalingkan pandang pada sang mama yang menangis kejar kala melihat putra kesayangannya digiring oleh petugas. Surya menghembus napas panjang. Sang mama secara mengejutkan hanya mendapat sanksi berupa kerja sosial selama satu tahun. Kendati demikian, Surya berencana mengirim sang mama ke rumah sakit jiwa. Obsesi sang mama terhadap barang mewah sudah terlalu berlebihan, sehingga perlu diberi penanganan khusus. Apabila obsesi tersebut berhasil diredam, baru Surya berani melepas sang mama untuk menebus kesalahan. Surya yakin Rosa selaku kuasa hukum-nya bisa membantu mewujudkan rencana-nya.

Terserah orang lain berkata apa, setidaknya Surya masih punya hati menerima keputusan hakim yang sepadan di mata hukum itu. Yang Surya inginkan adalah memberi efek jera pada dua anggota keluarga karena sudah membuatnya dan Meisa menderita selama bertahun-tahun.

Untuk sementara waktu, Surya berhasil menyingkirkan beban yang bercokol di dada. Surya tidak perlu lagi merasa bersalah dan menderita, karena penderitaan yang ia rasa dibalaskan oleh hukum yang berdaulat. Hukuman sudah sepantasnya diterima sang kakak karena melakukan tindak kriminal dan juga mama Surya karena mendukung tindakan yang dilakukan oleh anak sulung-nya itu.

Prompt #19 of #MoAuthorProject: #ACT_SweetRevenge
Soobin tidak pernah lupa bagaimana rasa kecewa yang harus ia alami selama ini karena menjadi pilihan terakhir dalam keluarga-nya.

--

--