Lampu Kuning di Pertigaan

Lampu pertanda jalan masih jauh lebih baik ketimbang lampu pertanda berhenti.

Rina
3 min readSep 26, 2023
Photo by Maxim Abramov on Unsplash

Hujan kembali mengguyur setelah sekian lama kerontang mengambil dominansi. Jalanan di luar sana nampak basah dan dipenuhi kendaraan bermotor yang bergerak pulang, sama persis dengan jantung Arga yang berdetak tak karuan setelah menyakinkan diri untuk mengungkap yang ia rasa.

Dari meja, Arga dapat melihat Salsa sedang fokus pada layar komputer. Kacamata dengan pigura semi-bening bertengger pada hidung mancung-nya. Anggota tim yang lain sudah pulang. Hanya tersisi mereka berdua di sana.

Arga berdiri, lantas mendeham sembari mendekatkan jarak dengan Salsa. “Hmm, Mbak Salsa gak balik?” tanyanya memulai pembicaraan. Arga tidak mungkin bersikap gegabah dan main asal menyatakan perasaan.

Salsa melepas kacamata dan memijit pangkal hidung sembari mendongak menatap Arga. “Emang kerjaan lo udah beres?” tanya sang atasan sembari mata melirik ke arah komputer di meja si lelaki.

“Belum sih, mbak,” balas Arga, lantas tertawa canggung.

“Selesain dulu kerjaan lo yang hari ini, sisa-nya lanjut Senin. Gue baru bisa balik kalau lo kelar,” sahut Salsa. Gadis itu kembali memasang kacamata dan kembali bekerja.

Arga yang belum puas dengan jawaban Salsa kembali bertanya, “Kenapa lo nungguin gue, mbak?”

Salsa mendecak, namun tetap memberi jawaban yang sesuai dengan pertanyaan Arga. “Ya, kalau di tim ada yang harus lembur, maka udah tanggung jawab gue sebagai ketua tim untuk stay sampai kelar. Gue gak bakal bantuin atau gimana, yang penting gue udah mastiin kerjaan kalian beres dengan mata kepala sendiri,” jawabnya sejelas mungkin.

“Tapi ‘kan Mbak Salsa gak lembur. Mana bol-”

“Daripada lo nanya mulu kayak bot, gimana kalau lo lanjutin kerjaan lo, terus kita pulang?” potong Salsa tanpa menoleh.

Kira-nya Arga menurut, Salsa terkejut kalau menemukan bayangan si lelaki masih menutupi sebagian layar komputer. Itu tandanya, Arga belum kembali ke posisi walau ia sudah menyuruh.

“Kok lo masih di sini?!”

Arga mengerjap beberapa kali sebelum spontan berujar, “Mbak Salsa, gue boleh gak suka sama lo?”

“Hah?! Emang selama ini lo benci sama gue?” tanya Salsa heran.

“Bukan itu! Maksud gue, boleh gak gue suka sebagai cowok ke cewek. Bukan sekadar suka biasa. Boleh?”

Ekspresi Salsa berubah datar. “Sumpah! Pertanyaan lo gak penting! Kirain kenapa,” sungut si gadis.

“Mbak! Ini penting banget! Gue suka sama lo, tapi kalau lo gak ngizinin karena semisal lo ada cowok atau gimana, gue bakal berhenti,” ucap Arga.

Salsa sekali lagi alihkan pandang dari komputer ke netra yang menatapnya penuh keyakinan. Kalau boleh jujur, Salsa tidak memiliki perasaan apapun pada Arga. Ia murni menganggap Arga sebagai junior dan anggota tim yang harus ia jaga dan lindungi sebagai atasan. Well, terkadang Salsa juga menganggap Arga sebagai putra dari Bu Melly. Tak lebih dari itu.

Namun, terkait dengan Arga yang meminta izin untuk menyukai-nya, Salsa merasa diri-nya tak punya kuasa melarang. Selain karena diri-nya tidak memiliki kekasih, siapa Salsa bisa menghentikan perasaan seseorang. Seumur-umur pun, baru Arga ini yang terang-terangan meminta izin untuk menyukai diri-nya alih-alih disukai namun dipaksa untuk menerima perasaan yang tidak bisa ia balas.

“Gue gak punya pacar, jadi lo boleh suka sama gue. Cuma suka ‘kan? Bukan lo maksa gue buat jadi pacar lo ‘kan?”

Arga menggeleng, namun dalam hitungan detik mengangguk. Salsa jelas saja bingung.

“Maksud lo apa sih?! Iya apa enggak?!” tanya Salsa kesal.

“Sebenernya gue kecewa. Ternyata gue mau-nya lo juga jadi cewek gue, mbak. Tapi gak apa-apa deh! Diizinin suka aja udah syukur. Berarti boleh dong ya gue pendekatan ke mbak?”

“Terserah aja. Cuma, gue susah buat jatuh cinta. Jadi, tabah-tabahin aja,” ucap Salsa memperingati.

“Susah bisa jadi mudah kalau gue yang gerak, mbak!” sombong Arga.

Salsa tertawa sinis sekaligus lelah menghadapi keanehan Arga. “Iya, terserah lah! Sekarang, tolong bantu orang yang lo suka ini biar bisa pulang dengan beresin kerjaan lo!” perintah si gadis setelah menghabiskan tawa yang tersisa.

Hahaha, siap, mbak!” seru Arga, tak lupa dengan salutan hormat di kepala.

Arga kembali ke meja dengan perasaan berbunga-bunga. Sempat kecewa, kini ia tak mempermasalahkan keputusan Salsa. Asal ia bisa menyukai Salsa tanpa halangan, Arga bersyukur perasaannya diakui oleh sang gebetan.

--

--

Rina
Rina

Responses (1)