Ia yang Terbiasa Sendiri

Rina
5 min readOct 6, 2023

--

Suara benturan sepayu hak tinggi dengan keramik yang menutup area pejalan kaki terdengar jelas, namun sang pengguna tak nampak terganggu. Wanita berusia 25 tahun bernama Salsa nampak santai melangkah menuju tempat janji temu dengan sahabat semasa kuliah di bilangan Setiabudi. Earphone kabel menggantung di telinga, menemani senandung dari mulut Salsa yang berjalan sendirian dengan percaya diri.

Salsa oozes this strong vibe of being an independent woman.

Sejak menempuh pendidikan di kota yang jauh dari rumah dan keluarga, Salsa terbiasa melakukan berbagai hal sendirian. Mulai dari pindah dari rumah kos ke kontrakan di semester lima perkuliahan, melamar pekerjaan, hingga ke hal sederhana seperti bepergian, Salsa tidak pernah mengeluh ketika harus melakukan hal tersebut sendirian. Bahkan untuk hal-hal krusial seperti pergi ke bank, mengurus berbagai macam pembayaran untuk unit apartemen yang ia sewa sejak mulai bekerja, hingga menyelesaikan berbagai kewajiban sebagai warga negara yang baik, Salsa tidak pernah menerima bantuan dari siapapun.

Sosok yang terbiasa sendiri ini yang membuat Salsa sulit untuk didekati oleh lawan jenis. Terlalu mandiri, begitu sebagian besar pria berkata. Adapun satu-dua yang mendekat, pria-pria itu memiliki motif tersembunyi untuk membuat Salsa patuh pada mereka ketika hubungan asmara perlahan terjalin. Salsa bisa diajak kompromi, tetapi tidak untuk diatur dari A hingga Z. Salsa tidak akan segan-segan menampar wajah pria-pria itu menggunakan slip gaji, dengan nominal yang bisa jadi lebih besar dari pada para bajingan itu!

“Salsa! Sini!”

Salsa lepas earphone dan lambaikan tangan pada ketiga sahabat-nya yang tiba lebih dahulu. Salsa tampilkan senyum riang kala mendekat, lantas merangkul satu-persatu sahabat. Mereka saling bertanya kabar seiring gerak Salsa duduk di kursi yang kosong.

“Lo mau pesen apa, Sa? Tinggal lo doang nih belum!” seru Sonya.

“Tumben? Biasa-nya lo pada langsung mesenin tanpa nunggu gue dateng,” ujar Salsa enteng, mengingat ini bukan kali pertama keempatnya berkumpul di restauran yang sama. Walau demikian, tangan Salsa reflek memindai QR-code yang tertempel di ujung meja.

“Abis nonton Ice Cold tuh si Sonya!” celetuk Beta.

Giana lantas meledek, “Takut dia! Might become the next cyanide coffee killer!

“Sialan!” protes Sonya, kemudian menyanggah, “Gue gak mikir ke sana! Kali aja ‘kan, si Salsa mau pesen yang lain. Masa iya nih anak kagak bosen pesen Lasagna sama cola mulu?!”

Salsa turut tertawa. Walau terbiasa sendiri, Salsa suka suasana ramai saat bercengkrama dengan Sonya, Beta, dan Giana. Ketiga sahabat yang menjadi saksi perjuangan Salsa ini menjadi satu dari sekian banyak alasan untuk bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan.

Perlu beberapa detik hingga tawa mereda dan Salsa berujar, “I might wanna try something else. Should I ask the waitress what’s today rec?”

Malam semakin larut. Keempat wanita dewasa itu terus mengobrol dengan diselingi menyuap dan menyeruput hidangan masing-masing. Setiap bertemu, mereka tidak pernah kehabisan topik untuk dibicarakan. Ada saja cerita seperti atasan cabul-nya Sonya, bertambah-nya jumlah majikan (re: kucing) Beta di rumah, dan Giana dengan pengalaman ‘one night stand’ yang wanita itu senangi.

“Ewh! Stop talkin’ about that over our dinner!” pekik Sonya tertahan.

“Stop acting like you never did it with your boyfriend.”

“At least, I only play with one person.”

“I use protection, though?”

Salsa menengahi, “Udah deh! Lo berdua mesti ribut masalah ranjang. Yang lain kek!” Salsa bukan merasa paling suci atau bagaimana. Ia paham kebutuhan para dewasa akan kehidupan duniawi yang hanya bisa dirasakan sekali seumur hidup, namun terkadang pembahasaan biologis seperti ini membosankan.

“Ya udah, coba lo deh cerita, Sa,” ujar Giana.

“Ceritain soal itu tuh, berondong yang ngejerin lo di kantor!” usul Beta.

“Oh! Anak-nya bu bos tuh ya?” goda Sonya disusul tawa puas setelah melihat wajah masam Salsa.

Sialan, batin Salsa. Niatnya mengalihkan topik pembicaraan yang tidak berbobot, malah ia kena getah-nya.

“Err-”

“Udah sampai mana? Kan waktu ini lo cerita si- siapa namanya?”

“Arga.”

“Nah iya si Arga! Lo cerita dia izin ke lo buat ngedeketin. Terus gimana? Udah sejauh mana?”

Salsa menatap ketiga sahabat-nya bergilir. Ia menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan. Salsa bisa saja mengalihkan topik, tetapi sebagai seorang yang mengaku dewasa, menghindar bukanlah gaya Salsa.

Hmm gue banyakan menghindar sih!” balas Salsa singkat, secara sadar mengakui tuduhan Arga di kolom tukar pesan sore ini.

“Lah? Kenapa?” tanya Beta

“Lo kata-nya gak masalah sama usia pasangan lo nanti?!” sambung Sonya.

“Iya, gue enggak masalah. Cuma-”

“Cuma lo belum ada rasa, gitu?” celetuk Giana yang tanpa jeda langsung dibalas anggukan oleh Salsa. Menurut Salsa, memberi jarak terlihat lebih baik ketimbang bersikap terbuka, namun akhirnya tidak bisa membalas perasaan yang Arga miliki.

“Umur segini masih mikirin perasaan? Emang lo Sonya?”

“Eh, lo tuh mesti deh bawa-bawa gue, Gi!”

“Ya ‘kan dari kita semua, lo doang yang pacaran atas dasar cinta. Gue kagak, apalagi Beta yang lebih milih ngurus majikan timbang punya cowok!”

“Ye, malah gue!”

Salsa tertawa canggung.

Giana kembali menatap Salsa dan berujar, “Gue mungkin gak di posisi yang pantas nasehatin lo, Sa. Tapi menurut gue, gak ada salah-nya lo coba menerima keberadaan si Arga itu. At least, hargai usaha-nya Arga. Kalau semisal akhirnya lo masih gak bisa suka sama dia, baru lo bilang.”

“Kalau begitu apa gak ngasih harapan namanya?” potong Sonya.

“Ya ‘kan Salsa bisa bilang diawal untuk gak ngarepin apa-apa ke dia. Semua bisa terjadi sesuai bayangan kita, kalau kita terbuka di awal. Kayak gue setiap mau tidur sama cowok-cowok itu, minta data kesehatan seksual mereka dulu. Kalau mereka mau ngasihin, ya berarti komunikaasi itu timbal balik,” jawab Giana enteng.

“Dih! Ke sono lagi bahasan. Gaya ONS lo aneh sumpah!” celetuk Beta.

“Ye! Gue ogah ya ketularan kalau tuh orang-orang ada riwayat PMS!” seru Giana membela diri.

Salsa yang sibuk berpikir lantas bertanya, “Gue coba dulu nih sebaiknya?”

“Coba aja! Lo jugaan udah lama gak pacaran. Pas kuliah aja lo kagak ada deket sama cowok. Apa jangan-jangan lo belum pernah pacaran?!”

Salsa mendengus kala mendengar tuduhan Beta, yang sayang-nya tepat pada sasaran. Salsa belum pernah pacaran. Pernah beberapa kali dekat, namun Salsa tidak pernah bisa menyukai pria-pria itu. Apalagi yang punya sikap memaksa. Jika Salsa tidak memiliki kemampuan bela diri mumpuni, entah apakah dirinya masih hidup setelah menghadapi orang-orang itu.

“Kalau dari pandangan gue, lo tuh terbiasa apa-apa sendiri. Ya bagus, but sometimes you need to let yourself be taken care of by others, Sa.”

“Arga mungkin aja cowok yang lo cari-cari selama ini.”

Salsa serapi kalimat demi kalimat petuah yang ketiga sahabat-nya berikan. Apakah sekarang waktu yang tepat untuk Salsa membuka diri pada lawan jenis? Haruskah Salsa memberi sedikit celah pada gambaran wanita independen yang melekat pada diri-nya?

--

--